Jateng Ajak Petani Optimalkan Sumber Daya Hutan sebagai Cadangan Pangan

Pemalang – Dinas Ketahanan Pangan (Dishanpan) Provinsi Jawa Tengah menggelar Focus Group Discussion (FGD) lanjutan perihal Optimalisasi Sumber Daya Hutan Mendukung Ketahanan Pangan Berbasis Badan Usaha Milik Petani (BUMP) pada hari Kamis (30/9) bertempat di Ruang Lingga, Hotel Regina Pemalang. Pertemuan tersebut mengundang 20 petani andalan dan 20 mandor terbaik yang berhubungan langsung di lapangan pada lahan seluas kurang lebih 3.500 ha. Turut hadir juga dalam agenda diantaranya Bappeda Provinsi Jawa Tengah, Divisi Regional Perum Perhutani Jawa Tengah, serta Lembaga Pengembangan Masyarakat Desa dan Perlindungan Hutan (LPMDPH).

FGD yang bersinergi dengan Sekretariat Nasional Badan Usaha Milik Petani (Seknas BUMP) Indonesia tersebut dilaksanakan dalam rangka mengoptimalkan potensi agroforestry komoditas jagung yang terdapat pada lahan hutan milik Perum Perhutani KPH Pemalang sebagai cadangan pangan Provinsi Jawa Tengah. Selain daripada itu pertemuan dilatarbekalangi oleh ketidakberdayaan petani tepian hutan selalu ketergantungan terhadap sistem pemasaran yang terjadi di lapangan sehingga petani tidak bisa mandiri.

Kepala Dinas Ketahanan Pangan Provinsi Jawa Tengah, Agus Wariyanto mengungkapkan bahwa ketahanan pangan selain menyiapkan pangan hingga tingkat rumah tangga juga tidak kalah penting yaitu melindungi petani. Sumber daya pangan menjadi hal yang penting agar petani tepian hutan tidak kelaparan dan hutan tetap berproduksi sesuai potensi lokal yang dimiliki. Agus juga menambahkan bahwa pengembangan Badan Usaha Milik Petani (BUMP) dalam mengoptimalkan sumber daya hutan merupakan model yang tepat dalam mengintegrasikan berbagai sektor kementrian.

“Perlindungan petani, tidak ada kelaparan, konsumen harga terjangkau, ketahanan pangan terpenuhi. Itu yang saat ini sedang gejolak harga telur dan jagung. Petani yang menikmati namun disisi lain peternak yang kalang kabut. Nah ini nantinya melindungi petani sekaligus memulihkan ekonomi di era pandemi. Pertemuan itu tidak satu kali langsung jadi. Perlu tahapan, step by step. Memikirkan petani tidak semudah yang dibayangkan. Intinya kalau belum ketemu modelnya di Pemalang jangan membentuk BUMP. Tetapi kalau sudah ketemu jangan lama-lama. Tampaknya pengembangan BUMP merupakan lintas kementrian. Ini badan usahanya milik petani bukan milik desa, kabupaten, provinsi. Berarti yang berusaha adalah petani. Kalau tidak mau berusaha kenapa masuk BUMP,” ungkap Agus.

Administratur Perum Perhutani KPH Pemalang, Akhmad Taufik menyampaikan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) merupakan sistem pengelolaan sumber daya hutan yang dilakukan bersama oleh Perhutani dan masyarakat desa hutan bersama stakeholder lain dengan jiwa berbagi sehingga kepentingan bersama untuk mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat dapat diwujudkan secara optimal dan proporsional. Menurut Taufik, pertemuan FGD dapat menjadi jawaban dari masalah yang terjadi untuk bersinergi antara petani sebagai subjek dengan berbagai stakeholder pendukungnya.

“Jadi pertemuan hari ini memang nyambung. Ada petani, pemerintah daerah, BUMP, lembaga lain. Bersama-sama untuk fungsi dan manfaat. Database harus dibenahi karena persoalan. Solusinya harus ada pemetaan. Karena hutan sebagai cadangan pangan nasional. Database harus betul agar dapat memetakan dimana kantong-kantong kemiskinan yang bisa kita bantu. Ketika data itu sudah benar program apapun bisa direalisasikan dengan baik sehingga manfaatnya tepat sasaran. Petani meningkat pendapatannya, Perhutani berhasil programnya,” ungkapnya.

Bappeda Provinsi Jawa Tengah, Himawan Wahyu Pamungkas mengatakan bahwa sumber daya hutan sebelumnya sudah banyak direncanakan dan dikembangkan namun hingga saat ini belum berjalan secara optimal. Database petani menjadi permasalahan umum yang sering terjadi di lapangan karena mempengaruhi keberhasilan program termasuk distribusi pupuk. Prinsip yang dapat diterapkan petani agar dapat berjalan lebih baik dari sebelumnya yaitu mengoptimalkan potensi yang sudah ada namun dengan sistem yang lebih baik.

“Potensi sumber daya hutan sudah banyak direncanakan dan dikembangkan namun belum menjadikan petani sebagai subjek. Mulai tahun 2019 asal yang dibudidayakan tanaman pangan, bisa mengajukan alokasi pupuk subsidi. Agustus sekarang serapan urea 42% sedangkan harusnya 70%. Artinya alokasi dari pemerintah pusat ke Jawa Tengah tidak terserap 100%. Berdasarkan data yang kita dapatkan, komoditas jagung sering surplus namun sering diberitakan karena harga yang tinggi. Lebih baik kita berangkat dari hilir untuk ke hulu,” tambah Himawan.

Ketua Seknas BUMP Indonesia, Sugeng Edi Waluyo mengungkapkan kondisi daripada petani hutan saat ini yaitu ketika menjual hasil produksi harga ditentukan oleh pembeli sedangkan jika petani membeli sarana produksi harganya ditentukan oleh penjual. Secara tidak langsung petani berada pada posisi yang tidak berdaya dan selalu ketergantungan. Hal tersebut yang melatarbelakangi hadirnya UU No.19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani sebagai instrumen yang bertujuan untuk mewujudkan kedaulatan dan kemandirian petani dalam rangka meningkatkan taraf kesejahteraan, kualitas, dan kehidupan yang lebih baik.

“Saat ini peran dari kelembagaan petani tidak dapat menyelesaikan permasalahan, maka perlu adanya transformasi menjadi kelembagaan ekonomi petani sebagai badan usaha dan berbadan hukum yang bergerak secara kolektif sehingga memiliki bergaining untuk dapat meningkatkan pendapatan petani. Petani perlu untuk konsolidasi dalam proses penguatan ekonomi petani melalui BUMP sebagai produsen pangan mewujudkan ekonomi gotong royong. Seknas BUMP Indonesia saat ini sudah membentuk tim dalam menanggulangi ketidakpastian data masalah benih, pupuk maupun pemasaran,” ungkap Edi.

Dalam kesempatan tersebut Staf Khusus Gubernur Jawa Tengah, Warsito Ellwein turut memberikan dorongan sekaligus memberikan arahan. Warsito mengatakan bahwa petani harus mampu menjadi subjek agar permasalahan kemiskinan dan kelaparan dapat segera teratasi. Maka dari itu pemerintah, perguruan tinggi, BUMN, hingga swasta wajib hadir berpartisipasi dalam mendukung petani sebagai produsen pangan. Setiap BUMP memiliki pola yang berbeda sehingga dalam menjawab masalah dan kebutuhan petani perlu kesadaran dari petani itu sendiri.

“Pemerintah, perguruan tinggi, BUMN, swasta, dan yang lain mampu bermitra dengan petani. Sistem yang ada dapat memberikan kenyamanan bagi semua, termasuk ketika masalah rantai distribusi yang panjang oleh tengkulak untuk dapat bersinergi bersama. Tidak ada yang saling sikut apalagi petani ini kecil, ketika berhadapan dengan yang besar pasti akan kalah. Maka dari itu lebih baik saling bersinergi. Petani harus bisa menjawab masalahnya sendiri. BUMP sebagai sistem dapat menjadi langkah yang tepat menuju kemandirian,” pungkasnya.

Similar Posts